Sabtu, 28 September 2013

Mari Berbagi Waktu

Bagi siapa pun, waktu merupakan modal utama dalam kehidupan. Seseorang yang akan berbuat jahat atau beramal shaleh pasti memerlukan terhadap waktu. Waktu pula yang akan menentukan seseorang sukses dan gagal dalam hidupnya. Demikian pula urusan akhirat kelak, seseorang bisa masuk surga atau neraka karena waktu. Apalagi untuk urusan keluarga, waktu untuk istri, suami, dan anak-anak adalah modal awal untuk bisa saling memberikan perhatian dan memenuhi kebutuhan masing-masing.
Prilaku menyimpang serta kejahatan lainnya yang dilakukan anak-anak, sering kali berawal dari persoalan pembagian waktu para orang tuanya yang tidak seimbang. Aktifitas di luar banyak mengorbankan anggota keluarga di rumah.
Biasanya, dampak buruk dari hal di atas adalah berkurangnya rasa nyaman dalam keluarga yang dapat menjadi bom waktu yang siap meledak. Anak-anaklah yang menjadi korban utama. Perlu diingat bahwa dampak buruk pada anak yang menjadi korban ini akan berkepanjangan. Karena tidak akan ada orang yang bisa menggantikan ibu dan bapak kandungnya. Berbeda dengan suami dan istrinya yang akan lebih cepat mendapatkan pengganti pasangan hidupnya.

Memilih dan Memilah Pekerjaan
Berawal dari memilih dan memilah pekerjaan, banyak orangtua disibukkan oleh pekerjaannya. Tuntutan maksimal dalam karir kerap mengorbankan keluarga. Walupun pada sisi yang lain, suatu saat sesorang akan dituntut untuk mampu bekerja sambil meninggalkan keluarga untuk waktu-waktu tertentu.
Memilih jenis pekerjaan, waktu, jarak serta beban fisik dan psikis, tampaknya harus kita pertimbangkan matang. Karena keseimbangan harus tetap dibangun antara mencari kasab dan mengawasi keluarga.
Keluarga tidak hanya membutuhkan rupiah, tapi juga sentuhan ruhiyah yang bermakna komunikasi batin lebih mereka pentingkan. Ibaratnya, untuk sentuhan material anggota keluarga yang ditinggal suami / istri masih bisa berhutang kepada saudara dan tetangga sebelah, tetapi kalau urusan batin tidak demikian adanya.
Kebutuhan biologis suami-istri pun harus dipertimbangkan, karena sebagai sunnatullah, seseorang yang sudah berumah tangga akan memiliki hasrat biologis yang tinggi. Jangan sampai terbuka pelanggaran moral akibat dari kekurangmampuan pemenuhan kebutuhan biologis tersebut. Bukan satu-dua kasus laki-laki melakukan nikah sirri di tempatnya bekerja. Itu dilakukan karena kebutuhan yang mendesak. Tetapi pernahkah suami memikirkan istrinya yang memiliki beban penderitaan karena kebutuhan biologisnya yang tidak terpenuhi? Mereka tidak akan memiliki kesempatan yang sama seperti halnya kaum Bapak yang melakukan nikah sirri di tempat kerjanya.
Bukan hanya dalam kasab saja, tetapi aktifitas sosial pun harus menjadi bahan pertimbangan. Tetapi bukan berarti kita melepaskan diri dari aktifitas sosial. Karena dengan aktifitas sosial banyak sekali nilai manfaatnya, baik sebagai pengabdian kita kepada ALlah atau sebagai partisipasi sosial kita terhadap kemaslahatan ummat.  Hanya butuh waktu kita untuk tidak melupakan yang lebih pokok, yaitu pengawasan keluarga. Karena pada kenyataannya banyak orang sukses mengabdi di wilayah sosial juga mampu membina kehidupan keluarganya. Bahkan pada kasus-kasus tertentu, mereka yang aktifis sosial memiliki kecenderungan lebih sukses dan berhasil dalam membina keluarganya.
Berbagi waktu pun bukan hanya untuk keperluan keluarga saja, tetapi juga keperluan pribadi yang tidak bisa begitu saja dinomor-duakan. Seringkali para suami-istri yang sibuk dengan pekerjaan dan aktifitas sosialnya melupakan jam makan dan waktu untuk berolah-raga. Padahal dua perkara tersebut begitu penting dan cukup dominan dalam mempengaruhi pola hidup. Baru disadari biasanya ketika penyakit semakin rawan serta sulit untuk disembuhkan, di saat fisiknya susah distabilkan.
Rasulullah telah memberikan teladan baik bagi kita sebagai umatnya. Dalam hal waktu beliau membaginya bukan hanya untuk kebutuhan ibadah yang bersifat hablum minallah saja, tetapi juga bukan hanya untuk umat belaka. Keluarga dan kebutuhan pribadinya senantiasa mendapatkan porsi yang cukup mendapat jatah dan bagian waktu. Senantiasa mampu berkomunikasi dengan para isterinya, dekat dengan anak-anaknya, bahkan untuk memenuhi hajat pribadinya pun selalu ada waktu yang disediakan.
Berbagi waktu dengan keluarga bukan berarti tidak boleh jauh dari rumah, bukan pula maknanya tidak boleh mencari kasab di luar kota, luar pulau, bahkan luar negeri, tetapi dengan kesibukan kita sebagai pekerja, pelaku bisnis dan aktifis sosial jangan sampai mengorbankan tugas utama kita, yaitu membina keluarga serta membangun komunikasi, sehingga kita fahami berbagai persoalannya dan kehidupan kita juga mereka memahaminya.
Berada di tengah keluarga dengan memaksimalkan waktu, kita akan lebih faham karakter yang dimiliki oleh anggota keluarga kita. Sekaligus akan mengetahui apa kebutuhan serta persoalan yang mereka hadapi. Bagaimana pun rumah adalah sekolah utama bagi anggota keluarga. Sebagai pendidikan utama, maka rumah harus memiliki sarana belajar, materi pembelajaran, bahkan lebih penting lagi siapa yang akan mengajar kita.
Jika fasilitas dan peserta ajarnya ada, sedangkan pengajarnya tidak ada, atau jarang ada di rumah, maka jadilah anak-anak kita tidak mendapatkan pembelajaran. Bahkan tidak menutup kemungkinan mereka akan mendapatkan pembelajaran bukan dari guru yang seharusnya hadir, tetapi dari pembantu atau tetangga, kawan bermain atau orang-orang yang dipandang cocok untuk anggota keluarganya.
Di sinilah awal kesalahan terjadi, karena tidak ada waktu untuk anggota keluarga, akhirnya mereka memaksa puas mendapatkan apa yang ada dihadapannya, buka apa yang dibutuhkannya. Satu sama lain tidak lagi memiliki peran saling berbagi dan memenuhi kebutuhannya. Di antara mereka tidak ada lagi saling menghargai. Maka berbagi waktu lah dengan anggota keluarga.
Penulis: Jejen Jaenudin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar