Rabu, 25 September 2013

Satoyama Melestarikan Alam Cara Jepang

Banyak cara yang ramah untuk membangun ekonomi di negeri Indonesia tercinta ini. Tanpa harus merusak alam dan saling berebut dengan cara yang tidak halal. Tak ada salahnya kita meniru orang Jepang yang kini telah berhasil mengembangkan konsep pembangunan ramah lingkungan yang disebut Satoyama.
Majalah Niponica edisi akhir tahun lalu menurunkan laporan tentang Jepang yang membangun ekonomi tanpa merusak alam. Satoyama didefinisikan sebagai simbolisasi dari gaya hidup Jepang dan perhatiannya tentang hidup dalam harmoni dengan alam.
Kehidupan perkotaan berdampingan dengan kehidupan liar alami tanpa saling mengganggu. Dapat kita lihat sekarang kehidupan anak sekolah yang berjalan melenggang santai di atas pematang sawah dan didekatnya ada burung bangau yang tidak merasa terganggu satu sama lainnya.
Pemandangan seperti itu sudah jarang ditemukan di Indonesia. Namun di Jepang, kehidupan harmonis antara manusia dengan alam dan lingkungannya terus terpelihara. Disebutkan oleh Niponica, hampir 70% wilayah Jepang merupakan hutan lebat yang tetap hijau.
Di Indonesia, hutan ditebangi, hewan-hewan termasuk burung ditembaki. Sawah-sawah produktif dijadikan area pabrik. Sungai-sungai menjadi tempat pembuangan sampah. Akibatnya, banjir di mana-mana di saat musim hujan, dan kekeringan pun meluas di saat musim kemaru. Alam sudah tidak seimbang lagi antara tanaman dan manusia.
Lain hal nya dengan negara Sakura ini. Para orang tua tetap mengajari anak-anak mereka untuk menghargai alam. Dengan demikian, penduduk Jepang selalu berfikir tentang manusia dan alam yang tidak terpisahkan. Tetapi manusia dan alam adalah menyatu.
Banyak orang tua Jepang yang memilih tetap hidup di Wakayama. Mereka hidup dekat dengan hutan, memanfaatkan kayu dari hutan untuk bahan bakar, tetapi tidak mengganggu atau merusaknya. Kesadaran seperti itu mereka dapatkan dari tradisi yang mereka terima secara turun temurun.
Bahkan untuk memotong kayu yang akan dijadikan kayu bakar, penduduk hanya memotong dahan-dahan kering. Tidak memotong batang dari akarnya. Pencari kayu bakar harus memastikan bahwa dahan yang dipotong benar-benar kering atau diperkirakan akan kembali tumbuh.
Tak heran jika selama berabad-abad, hutan tetap seperti semula. Jika ada penambangan, maka hutan akan ditunggu sampai ia kembali menjadi hijau ranau. Berkat hidup harmonis dengan alam, warga dapat menikmati anugerah alam itu secara berkesinambungan.
Gambaran lain dari Satoyama adalah sebuah kampung yang berada di tengah-tengah pesawahan. Kampung tersebut dirindangi pepohonan, yang menjaga hutan tradisional dijaga semenjak ratusan tahun yang lalu.
Tampaknya kita tidak usah merasa malu meniru kehidupan masyarakat tradisional Jepang yang tetap dapat maju tanpa harus mengorbankan alam sekitar. Tak ada alasan lagi untuk mendalili pekerjaan merusak alam, menggunduli hutan tanpa menanaminya kembali, mencemari lingkungan tanpa berfikir akan nasib masa depan generasi yang akan datang, menebar ranjau paku di jalanan agar memperoleh keuntungan duniawi dari penderitaan orang lain.
Marilah kita melestarikan alam. Semoga bermanfaat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar