Sabtu, 13 April 2013

Sinergi Kebersamaan : Memperhatikan Kelemahan Diri & Sesama

Setiap manusia mempunyai kelemahan. Namun justru kelemahan inilah yang menyebabkan manusia berkembang dan berbahagia. Karena di balik kelemahan itu terdapat kemajuan, moderenisasi dalam bidang sosial, ekonomi, politik, dan teknologi, sehingga terjadi perubahan dipelbagai sektor kehidupan.
Sejak zaman Nabi Adam hingga sekarang ini, manusia senantiasa berusaha untuk menghilangkan kelemahan dirinya juga kelemahan orang lain, agar mendapatkan kehidupan yang lebih nikmat dan terhormat. Namun karena sadar terhadap kelemahannya itu, manusia bisa berubah menjadi “makluk buas” yang berbahaya bagi sesamanya. Menjadikan orang lain sebagai korban hawa nafsunya.
Islam mengajarkan umatnya agar senantiasa memperhatikan kelemahan dirinya juga kelemahan orang lain. Suatu saat ketika Rasulullah saw. hendak menyembelih kambing, para sahabat sibuk mencari dan memperhatikan kelemahan kawannya. Seorang sahabat menghadap Rasul seraya berkata “ya Rasulallah alayya dzabhuha-wahai Rasulullah biarlah saya yang menyembelihnya”. Melihat hal ini, sahabat yang lain tidak tinggal diam, lalu ia berkata, “alayya salhuha-biarlah saya yang mengulitinya”. Demikian pula sahabat yang lain berkata, “alayya thabkhuha-biarlah saya yang memasaknya”. Memperhatikan sikap para sahabatnya ini, Rasulullah memandang masih ada satu kelemahan yang harus ditutupi, karena itu beliau segera menutupinya dengan mengatakan, “alayya jam’ul hathabi-biarlah saya yang mencari kayu bakarnya”.
Peristiwa ini menjadi ibrah bagi kita, bahwa sudah sepantasnya bila kaum muslimin saling memperhatikan kelemahan sesamanya. Setelah dipelajari, barulah ia menyingsingkan lengan baju untuk menutupi kelemahan itu menurut kemampuan masing, baik dengan harta, tenaga, maupun pikiran.
Dengan diketahuinya kelemahan orang lain, maka terbukalah lapangan yang luas untuk beramal salih, medan untuk berjihad.
Apabila jiwa qurbani seperti ini tertanam pada setiap anggota, maka tidak perlu ada anggota yang merasa dikucilkan, merasa bosan hidup dijam’iyyah, merasa tertinggal hidup di daerah terpencil, dan merasa rendah berada di belakang sebagai makmum.
Apabila jiwa qurbani seperti ini tetap segar dan mendarah daging pada diri tiap pimpinan, maka tidak akan ada pimpinan yang haroream, merasa paling berjasa, lebih maju aktif di PD, PW, atau PP, dan merasa terhormat berada di depan sebagai imam.
Namun sebaliknya, apabila jiwa qurbani tidak ada pada diri kita, maka kelemahan ikhwatu iman bukan dijadikan modal untuk beramal salih melainkan dijadikan kesempatan dalam kesempitan, dijadikan batu loncatan, sehingga kehidupan berjam’iyyah penuh dengan kecurigaan dan kemunafikan.
Ketika Rasulullah saw. mendapatkan tugas amar ma’ruf nahi munkar, kaum jahiliah merasa tertutup ruang geraknya untuk memanfaatkan kelemahan orang lain, menguras keuntungan.
Maka diutuslah Utbah bin Rabi’ah membawa misi untuk membujuk Rasul agar berhenti berdakwah, dengan memberikan ganti rugi apabila Rasul merasa rugi dengan berhentinya tugas itu.
Mereka berani melakukan hal demikian, karena beranggapan bahwa bagaimana pun kuatnya seekor banteng tetap saja ada kelemahan, akan tunduk pada tuannya apabila dicocoki lubang hidungnya. Demikian pula halnya dengan Rasulullah. Maka Utbah membawa misi untuk menundukkan kelemahan Rasul, sehingga Rasul menuruti kehendak kaum jahiliah.
Datanglah Utbah ke hadapan Rasul, kemudian ia meminta agar beliau menutup kegiatan dakwahnya, mengakhiri perjuangan menegakkan keadilan dan kebenaran, dicari-cari titik kelemahan beliau seraya menawarkan ganti rugi, “Inkunta innama bihadzal amri malan, jama’naka min amwalina hatta takuna aktsarana malan-Jika dengan kegiatanmu itu sesungguhnya engkau mengharapkan harta, maka akan kami kumpulkan seluruh harta kami untukmu sehingga engkau menjadi orang yang paling kaya di antara kami.”
Utbah berani menawarkan harta kepada rasul, karena ia memandang bahwa manusia lemah ketika berhadapan dengan harta. Karena kelemahan terhadap harta itu, manusia menjadi lupa akan kewajiban dan hakikat perjuangannya.
Utbah tidak tinggal diam, ia masih berusaha menawarkan yang lainnya, “wainkunta turidu tasyrifan, sawwadnaka ‘alaina-dan sekiranya engkau ingin mendapatkan kedudukan, akan kami angkat menjadi pemimpin kami.” “wain kunta turidu mulkan, mallaknaka ‘alaina-dan jika engkau menghendaki jadi raja, kami angkat engkau menjadi raja.” 
Utbah berani menawarkan pangkat dan tahta sebab manusia lemah juga ketika menghadapi tahta. Demi tahta rela menyembunyikan kebenaran.
Demikian pula manusia lemah pada saat menghadapi wanita. Karena lemahnya menghadapi wanita, maka manusia diperas dan diumpan dengan aneka ragam penampilan wanita.
Tapi Rasul telah menjaga dirinya dengan perisai keimanan dan ketakwaan yang luar biasa, sehingga beliau tidak lemah lagi ketika berhadapan dengan harta, tahta, maupun wanita. Beliau menolak tawaran ganti-rugi dari Utbah dan tetap amar ma’ruf nahi munkar.
Inilah berbagai tantangan dan godaan yang akan dihadapi oleh mujahid dakwah, khususnya Pemuda Persatuan Islam.
Untuk menyikapi tantangan yang berat ini tentu saja dibutuhkan pemuda-pemuda yang memiliki militansi dalam berjihad fi sabilillah, berilmu, dan rela berkorban demi tegaknya kalimatullah. Keberhasilan mewujudkan tim yang siap tempur ini sangat erat kaitannya dengan persolaan imamah.
Sehubungan dengan itu kita harus mampu membangun dan memelihara paradigma perjuangan sebagai berikut:
Pertama, setiap perubahan yang terjadi hendaknya berawal dari kekuatan diri sendiri dan bukan berawal dari kekutan dunia luar. Kekuatan dari dalam dirilah yang akan mendorong kita menuju perbaikan.     tidak akan mungkin terjadi perubahan yang signifikan selama jam’iyyah didukung oleh sikap mental yang tidak percaya terhadap kekuatan sendiri. Bantuan dari pihak luar bukanlah segala-galanya. Bantuan luar bukan merupakan faktor utama kebarhasilan perjuangan.
    Kedua, sebuah masalah tidak dapat diselesaikan hanya dengan mengandalkan kekuatan orang per orang. Kita membutuhkan team work yang kuat, dimana semua potensi yang ada dapat dipadukan dan disinergikan.
    “dan orang-orang yang beriman, lalaki dan perempuan, sebagian merka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh mengerjakan yamg makruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan salat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah Maha perkasa lagi Maha bijaksana.” (at-Taubah: 71)
    “sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang dijalannya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.”  (ash-Shaff:4)
    team work yang kuat ini akan muncul  ketika diikat oleh koridor-koridor sebagai berikut.
    Pertama, harus ada sikap tafahum, yaitu sikap saling memahami kelemahan dan kekuatan masing-masing. Hendaknya kelemahan yang satu ditutupi oleh kekuatan yang lain, sehingga masing-masing akan saling melengkapi dan saling memperkuat, bukannya justru saling melemahkan dan menjatuhkan.
    Kedua, harus ada semangat untuk berkorban (tadh-hiyyah) terutama bagi kepentingan umat. Tanpa ada pengorbanan yang sungguh-sungguh, maka upaya perbaikan hanya akan menjadi suatu yang sia-sia saja. Pengorbanan ini terutama harus dicontohkan oleh para pemimpin dan kaum elit bangsa dengan mempraktikan perilaku hidup sederhana dan bersih dari unsur korupsi.
    Ketiga, harus ada upaya saling menasehati (taushiyah). Nasihat ini sangat penting  agar proses perbaikan dan perubahan yang dilakukan dapat berjalan sesuai dengan rel yang dicita-citakan. Taushiyah dilakukan dalam kontek kebenaran, keadilan, dan kejujuran, yang dilandasi oleh kesabaran dan kesungguhan untuk mau berubah. Budaya taushiyah ini merupakan bentuk kontrol terhadap perilaku kita. Tanpa ada kontrol, kita akan terjebak pada perilaku yang lebih mengutamakan kepentingan diri sendiri. Taushiyah pun harus dilaksanakan dengan penuh kasih sayang (taushiyah bil marhamah, perhatikan al-Balad: 17 dan al-Ashr: 3), bukan diliputi dengan penyakit kebencian dan balas dendam.
    “ Dan dialah orang-orang yang beriman dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang.” (al-Balad: 17)
    “Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya menaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kebenaran.” (al-Ashr:3)
    keepat adalah dikembangkannya budaya ishlah, yaitu saling mendamaikan dan memberi maaf ketika terjadi berbagai konflik yang mengarah kepada pertentangan dan perpecahan yang merugikan.

Paradigma
Perubahan paradigma manajemen harus diawalli oleh suatu keyakinan bahwa setiap perubahan yang terjadi hendaknya berawal dari kekuatan diri sendiri dan bukan berawal dari kekutan dunia luar. Kekuatan dari dalam dirilah yang akan mendorong kita menuju perbaikan. Oleh karena itu, seluruh  komponen bangsa harus segera membersihkan hati dan jiwa agar dapat menghilangkan  ketergantungan kepada kekuatan luar. Allah swt. pun tidak akan pernah mengubah nasib sebuah kaum apabila mereka ssendiri tidak berusaha mengubah dirinya (ar-Ra’d:11).
“Sesungguhnya Alah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum  sehingga mereka mengubah keadaanyang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung  dari mereka selain dia.” ( ar-Ra’d: 11)
Tidak akan mungkin terjadi perubahan yang signifikan selama bangsa ini didukung oleh sikap mental yang tidak percaya terhadap kekuatan sendiri. Bantuan dari pihak luar bukanlah segala-galanya. Bantuan luar bukan merupakan faktor utama kebarhasilan pembangunan. Tidak pernah ada dalam kamus sejarah, suatu bangsa akan maju hanya dengan mengandalkan bantuan pihak asing. Bahkan, bila suatu masyrakat senang berutang dan mengandalkan utang luar negri semata sebagai modal pembangunannya, maka masyarakat tersebut akan selalu di intervensi dan dikendalikan kekuatan luar, sehingga Rasulullah saw. pun sangat menghawatirkan berjangkitnya penyakit senang berutang. Dalam salah satu do’a, sebagaimana diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim, Rasulullah memohon kepada Allah,
    “ya Allah, aku berlindung kepadamu dari lemah pendirian, sifat malas, penakut, kikir, hilangnya kesadaran, terlilit utang dan dikendalikan orang lain. Dan aku berlindung kepadau dari siksa kubur, dan dari fitnah (ketika) hidup dan mati.” ( HR. Bukhari dan Muslim)
    perubahan paradigma juga harus ditopang oleh kesadaran untuk membangun kekuatan tim atau jama’ah. Sebuah masalah tidak dapat diselesaikan hanya dengan mengandalkan kekuatan orang per orang. Kita membutuhkan team work yang kuat, dimana semua potensi yang ada dapat dipadukan dan disinergikan.
    “dan orang-orang yang beriman, lalaki dan perempuan, sebagian merka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh mengerjakan yamg makruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan salat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah Maha perkasa lagi Maha bijaksana.” (at-Taubah: 71)
    “sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang dijalannya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.”  (ash-Shaff:4)
    team work yng kuat ini akan muncul  ketika diikat oleh koridor-koridor sebagai berikut.
    Pertama, harus ada sikap tafahum, yaitu sikap saling memahami kelemahan dan kekuatan masing-masing. Hendaknya kelemahan yang satu ditutupi oleh kekuatan yang lain, sehingga masing-masing akan saling melengkapi dan saling memperkuat, bukannya justru saling melemahkan dan menjatuhkan.
    Kedua, harus ada semangat untuk berkorban (tadh-hiyyah) terutama bagi kepentingan umat. Tanpa ada pengorbanan yang sungguh-sungguh, maka upaya perbaikan hanya akan menjadi suatu yang sia-sia saja. Pengorbanan ini terutama harus dicontohkan oleh para pemimpin dan kaum elit bangsa dengan mempraktikan perilaku hidup sederhana dan bersih dari unsur korupsi.
    Ketiga, harus ada upaya saling menasehati (taushiyah). Nasihat ini sangat penting  agar proses perbaikan dan perubahan yang dilakukan dapat berjalan sesuai dengan rel yang dicita-citakan. Taushiyah dilakukan dalam kontek kebenaran, keadilan, dan kejujuran, yang dilandasi oleh kesabaran dan kesungguhan untuk mau berubah. Budaya taushiyah ini merupakan bentuk kontrol terhadap perilaku kita. Tanpa ada kontrol, kita akan terjebak pada perilaku yang lebih mengutamakan kepentingan diri sendiri. Taushiyah pun harus dilaksanakan dengan penuh kasih sayang (taushiyah bil marhamah, perhatikan al-Balad: 17 dan al-Ashr: 3), bukan diliputi dengan penyakit kebencian dan balas dendam.
    “ Dan dialah orang-orang yang beriman dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang.” (al-Balad: 17)
    “Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya menaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kebenaran.” (al-Ashr:3)
    keepat adalah dikembangkannya budaya ishlah, yaitu saling mendamaikan dan memberi maaf ketika terjadi berbagai konflik yang mengarah kepada pertentangan dan perpecahan yang merugikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar