Senin, 15 Juli 2013

Cerpen : Impian untuk Ayah

Aku terdiam. Pura-pura memperhatikan tayangan telivisi di hadapanku kala ayah baru saja pulang dari kantornya.
“assallamualaikum..” salam ayah lembut seraya memeluk kedua adikku—Rega dan Rani.
“nih ayah belikan donat kesukaan kalian!” ayah tampak mengeluarkan kotak berwarna orange dari dalam tas yang langsung disambut gembira oleh kedua adik ku.
“jangan berebut!” pesannya seraya melintas dihadapanku menuju kamar. Aku meringis.
entah mengapa sedari dulu aku selalu merasa di anak tiri-kan oleh ayah. Sikapnya selalu saja dingin tak seperti pada kak Ryan dan kedua adikku. Dan hal ini lah yang selalu menjadi alasan ku mengapa aku tak betah berada di rumah, semua penghuninya bagaikan orang asing bagi ku-kecuali bunda. Tak jarang aku berfikir apa aku benar-benar anak tiri? Tapi bunda selalu menyanggah hal itu, beliau selalu saja bisa membuat ku yakin bahwa aku ini benar-benar anaknya, namun semenit kemudian keyakinan itu hilang lagi kala dihadapkan dengan nyata sikap ayah pada ku.
“teteh! Makan malam dulu..” panggil bunda dari arah ruang makan. Dengan perasaan enggan ku langkahkan kaki menuju kursi ku yang letaknya tepat di samping depan ayah.
“lesu banget sih teh? Sakit?” Tanya bunda, aku menggelang seraya berusaha sungingkan senyum.
“makan yang banyak ia..” ujar bunda lagi seraya menaruh lauk pauk di piringku.
“yah.. lusa insayaAllah Ryan ikut olimpiade kimia lagi loh..” ujar kak’Ryan di sela makannya.
“oh ya? Hebat deh anak ayah.. harus menang lagi ya!” puji ayah diiringi lirikan tajam kearah ku. Dan aku pura-pura tak peduli.
“gimana kemarin? Novel kamu jadi diterbitin?” Tanya ayah dingin tanpa menatap ku sama “belum ada konfirmasi yah” sahut ku pelan. Ayah berguma tak jelas menanggapinya. Dan lagi perasaan sakit itu muncul jalari tiap inci hatiku, membuat nafsu makan ku hilang seketika. Aku tau di antara anggota keluarga hanya aku yang kurang berminat dengan segala hal berbau ipa, padahal jelas-jelas gen di keluarga ku 100% ipa. Tapi aku berbeda! Aku lebih tertarik tuk merangkai kata dan pada segala hal yang berbau kuno. Yah.. walau ipa ku tak begitu buruk, “ayah tau ga?! Cerpen teh Raras ada di majalah loh!” ucap Rega dengan senyum mengembang. Ayah hanya tersenyum kecil, dan suasana di meja makan-pun seolah berubah menjadi begitu canggung.
“jadi penulis tuh masa depannya belum tentu, iya kalo buku-buku nya laku, kalo enggak?!” ujar ayah menyindir ku.
“tapi yah.. Raras kan pengen jadi ahli Bahasa Asing juga iya kan Ras?” bela bunda dengan tatap yang begitu khawatir ke arah ku. Aku mengangguk.
“jadi ahli bahasa? Mau jadi apa? Guide? Hah! Kaya ga ada kerjaan lain aja!” ucap ayah tajam buat mata ku kian memanas.
“aku beres makannya. Duluan semua..” pamit ku seraya beranjak dari meja.
“Raras!” panggil ayah hentikan langkahku.
“ayah cuma ingin masa depan kamu cerah! Ayah tau kamu berbakat jadi dokter seperti ayah!” ucap ayah lagi entah tuk keberapa ratus kalinya.
Aku tau, jika aku ingin aku bisa saja menjadi seperti apa yang ayah mau. IPA ku tak begitu buruk, Dua kali aku pernah mengikuti olimpiade Biologi dan aku selalu memenangkannya.
“tapi itu bukan Dunia ku yah…” aku berlalu menuju kamar.
Diam-diam airmata mengalir dengan derasnya. Sakit!. Aku tak pernah habis fikir mengapa ayah selalu menganggap rendah impian ku. Padahal aku yakin! Sangan yakin kelak aku dapat sukses dengan gelar Master Bahasa Asing-ku juga dengan semua karya tulis ku!. Aku yakin, aku bias menjadi sosok yang ayah banggakan! Aku yakin……… tapi kenapa yah?
“teh? Bunda masuk ia?” ujar bunda seraya mengetuk pintu kamar ku. Tak lama beliau masuk dan dapati ku tengah terisak di kasur.
“maafin ayah ya..” ujar bunda lagi entah tuk keberapa ratus kalinya setiap kejadian serupa terulang. Aku diam.
“ayah ga maksud nyudutin teteh ko, ayah Cuma pengen semua anaknya sukses kelak..” bunda membelai lembut rambutku membuat isak ku semakin menjadi.
“bunda ga ngrasain sih! Sakit rasanya bunda! Sakit!” ucap ku bergetar, bunda hanya termangu.
aku tau bunda pun bingung harus berbuat apa, disisi lain ia mendukung impian ku namun disisi lain pula ia tak mampu meyakinkan ayah, ayah begitu keras dengan setiap hal yang menjadi keinginannya.
“maafin bunda ya teh..” ujar bunda dalam hati kala melihat ku mulai terlelap, lelah dengan tangis ku.
********************
“Raras!” panggil yumna seraya berlari ke arah ku.
“hey!” sahut ku sesampainya ia di hadapku yang langsung duduk disamping ku.
“semalem habis nangis lagi ia?” aku menggeleng sembari tesenyum.
“bengkak gitu juga matanya! Ayah kamu lagi?” Tanyanya hati-hati, aku hanya tersenyum kecil dengan mata yang berusaha fokus pada buku di tanganku.
Yumna. Dia sahabat ku sejak kecil. Dari mula sekolah dasar hingga sekarang Alliyah kami selalu bersama. Dia adalah pendengar yang baik dan juga seorang penasihat yang mampu buat ku selalu tersnyum.
“ga ko, bukan ayah…” elak ku, walau bagaimana pun ayah adalah ayah ku yang nama baiknya harus selalu ku jaga dalam keadaan apapun.
“ga usah bohong deh! Kita tumbuh bersama, jadi kamu ga bisa bohong sama aku..” yumna mengambil alih buku ku. “ayah kamu nyindir lagi?” dan akhirnya aku mengangguk.
“terus?”
“ia kaya biasa aja..”
“kenapa sih kamu ga nyoba tunjukin cerpen-cerpen kamu?” ujarnya seraya membolak-balik buku catatan sejarah ku yang usai bel istirahat ini akan di ujiankan.
“buat apa yum, di sentuh juga ga akan kali…” ucap ku getir
“tapi kan kamu belum nyoba? Atau mau sama aku di kasihinnya?” tawarnya.
“ga usah makasih, tanpa di coba juga pasti kaya gitu ko…” aku mencoba tersenyum ceria padanya, namun tetap saja tak bisa ku sembunyikan pancaran luka dari mata ku tang tengah bengkak kini.
“terus kabar dari penerbit udah ada?” aku menggeleng.
“aku yakin naskah kamu pasti di terima!” hibur yumna
“nanti kalo udah terbit, kamu wajib ngasih liat ayah kamu! Biar dia tau gimana hebatnya anak perempuannya!” ucap yumna lagi, aku tersenyum diiringi aminn dalam hati.
**************************
Senja kali ini seperti biasa ku habiskan dengan membaca majalah National Geografi yang kali ini memuat sejarah tentang Suku Aztec kuno. Aku sangat suka membaca, terutama buku sejarah kuno. Karna bagi ku ketika membaca aku dapat sejenak melupakan kenyataan yang membelenggu ku dan bagi ku masa lalu itu selalu lebih indah dari sekarang maka dari itu aku begitu menyukai sejarah.
seperti dalam hidup ku, masa lalu itu tampak begitu indah, indah kala ayah masih memanjakanku, masih selalu memujiku, menggendong ku dan hanya ciptakan tawa canda di setiap jengkalnya. Tak seperti sekarang. Ah! Andai aku punya kendali atas waktu, aku ingin selalu dapat kembali ke masa indah itu setiap kali kenyataan lukai batin ku. Ayah.. aku rindu masa-masa itu.
tanpa ku sadari airmata terjatuh ciptakan aliran sungai kecil di pipi. Aku masih ingat bagaimana lembutnya ayah membelai ku kala airmata ku terjatuh—dulu. Ayah….
GRRRRR..GRRRRRR~
handphone di saku rok ku bergetar. Segera ku rogoh benda kecil itu dengan tangan kiri yang sibuk meyeka airmata.
yumna calling~
“assallamualaikum, ada apa yum?”
“cepet buka e-mail kamu sekarang!”perintahnya dari sebrang sana
“kenapa emang?” akku tak mengerti seraya berjalan meraih notebook putih dari atas meja belajar.
“pokonya cepet buka!” dengan segera ku log-in akun g-mail seraya memasang earphone pada handphone ku.
“tadi aku iseng buka website publishing house yang kamu kirim naskah itu loh, terus aku lait cover novel yang katanya bakal segera terbit, judulnya ‘pelangi untuk ayah’, itu judul naskah kamu kan??” ucapnya bersemangat.
“serius kamu yum?! Loading nih jaringannya…” sahut ku dengan rasa antusias bercampur senang dalam hati.
“serius lah….. udah ke buka belom?” tepat saat itu akun g-mail ku terbuka dan ku dapti empat surrel baru disana. Ku klik satu surrel dengan nama penerbit yang tiga bulan lalu ku kirim naskah.
“Raras? Apa katanya?” Tanya yumna di sebrang sana. Aku terdiam, berharap apa yang ku baca ini salah
*********************
“aku ngambil jurusan IPA, sesuai apa yang ayah mau..” sahut ku kala ayah bertanyan mengenai jurusan apa yang akan ku ambil di kelas dua nanti. Ayah tersenyum cerah dan membiarkan ku berlalu usai ia puji berkali-kali. Namun tetap saja hati ku terasa begitu pedih. Seminggu lalu ku dapati naskah ku kembali lewat pos tak lama usai pemberitahuan dari penerbit bahwa naskah ku masih belum layak tuk di muat, dan yang sangat membuat ku sakit tittle ku sama dengan penulis lain yang kini naskah nya telah berwujud novel.

“aku masuk ipa, aku bakal berhenti nulis yum…” ujar sepulang sekolah
“jadi kamu nyerah gitu?! Kamu bakal ninggalin semua ini gitu aja?!” respon yumna kala tau aku memilih jurusan ipa dan akan mulai berhenti menulis agar fokus pada target ku tuk ikuti ke inginan ayah—menjadi dokter.
“kamu baru sekali ini gagal Ras! Aku yakin ko kamu pasti bisa! Ayo dong! Kemana Raras yang selalu optimis yang aku kenal selama ini?! Kemana?!” aku hanya dapat menetap nanar wajah yumna yang kian memerah, geram dengan keputusan yang ku ambil.
“kamu sendiri kan yang bilang ga akan pernah ada orang sukses tanpa mengalami kegagalan terlebih dahulu, iya kan?! Ras….. jangan sia-sia in bakat yang kamu punya. Jangan nyiksa diri kamu dengan hal yang ga sukai..” aku masih saja terdiam. Dengan susah payah ku tahan airmata agar tak terjatuh saat itu, aku ingin terlihat yakin dengan keputusan ku di depan yumna—berpura-pura yakin tepatnya.
“ini pilihan aku yum…maaf ia, aku dah kecewain kamu” dengan setengah berlari ku tinggalkan yumna yang terpaku dengan apa yang ku ucap.

Hari ku terasa hampa kini, baru saja ku simpan setumpuk majalah dan buku yang mulai kini ku tekadkan takan ku baca lagi. Dengan malas ku tata buku-buku baru ke dalam rak yang baru saja ayah berikan padaku.
“baca semua buku ini ok!!” ucap ayah seraya membelai ku lembut. Jujur aku senang dengan perlakuan ayah kini, tapi disisi lain ada luka yang tiap menitnya semakin menjadi. Aku masih belum bisa pungkiri keinginan hati ku.
ku helay nafas beberapa kali, berharap setiap hembusnya dapat ringankan ku.
“hei calon Dokter..” sapa bunda kala melihat ku tengah serius dengan beberapa buku tentang anatomi tubuh. Aku tersenyum.
“senyumnya ga tulus gitu, teteh yakin kan dengan pilihan ini?” aku mengangguk pelan
“tapi kenapa bunda ngerasa teteh kaya yang setengah hati gitu ya?”
“perasaan bunda aja kali..” sahut ku berusaha tersenyum setulus yang aku bisa. Namun gagal. Bunda selalu tau bagaimana perasaanku sekalipun aku tak bercerita padanya.
“teh..kalo semisalkan ga kuat ga usah maksain ya? Bunda selalu dukung apa pun yang teteh lakuin” bunda tersenyum seraya memeluk ku, ku balas pelukkannya dengan sangat erat dengan hati yang tengah ku benah seyakin mungkin dengan jalan yang ku pilih sekarang.
“doain teteh ia bun…” ucap ku lirih, bunda mengangguk “selalu..” sahutnya.
*************************
“wesss calon bu Dokter mah nilai IPA-nya keren semua…” puji beberapa teman kala melihat raport ku. Aku tersenyum hambar. Ku pincingkan mata ke arah Yumna yang tampaknya masih kesal dengan keputusan ku. Ku berani kan diri menghampirinya yang tengah asyik—berpura-pura asyik mungkin dengan beberapa anak yang lain di sudut kelas.
“yum…” sapa ku dengan suara yang nyaris terdengar seperti bisikan. Yumna menatap ku dengan tatapan yang sulit ku jabarkan. “ada apa?” sahutnya ketus
“mulai taun ajaran baru aku bakal pindah…”
mata yumna membelak “ke-kenapa?” aku tersenyum, ternyata dia masih peduli padaku.
“ayah nemuin sekolah yang IPA nya bagus katanya, jadi aku di suruh pindah kesana..”
“selamat ia! Kamu dah jadi robot ayah kamu..” ujarnya sinis dengan yang memerah
“selamat ia Ras….” Ujarnya lagi dengan airmata disisi. Ku peluk erat sahabat ku itu.
“aku ga pinda rumah ko, kita masih bisa main bareng..” ucap ku pelan
“iya..” sahut yumna dengan isak yang membuat seisi kelas menatap heran kea rah kami.

“aku pulang!” ujar ku sesampainya di rumah bersama yumna
“wa’alaikumsallam, gimana raportnya teh?” Tanya bunda
“alhmdulillah bun walau ga masuk tiga besar, nih…” bunda meraih raport dari tangan ku lalu menyuruh ku mengambilkan minum untuk yumna.
“bagus-bagus ko nilainya teh” puji bunda. Aku tersenyum.
“ia dong tante, jam istirahat aja di pake buat belajar..” sahut yumna
“ayah mana bun?” Tanya ku
“di belakang kali, kesana gih…” segera ku langkahkan kaki menuju taman belakang rumah yang kecil namun tampak asri yang menjadi tempat bunda curahkan kecintaanya pada tanaman.
“yah…. Nih liat raport—Ra-ras. . . .” ucap ku terhenti kala melihat ayah tengah menggenggam naskah ku.
“ko kamu buang naskah ini sih?” Tanya nya dengan mata yang terlihat basah
“a-aku. .” ujar ku tergagap. Dengan bayangan hari kemarin dimana ayah kembali dingin padaku.
“naskah bagus gini tuh harus nya di terbitin!” ujarnya parau, betapa kagetnya aku.
“apa yah? Nas-naskah ku bagus?” ayah mengangguk lalu meraih ku ke dalam peluknya.
“maafin ayah yah, ayah ga pernah yakin dengan bakat kamu selama ini, maaf ya teh..” uajr ayah begitu lembut hingga mampu getarkan hati ku.
“mulai sekarang teteh bebas tentuin impian teteh sendiri, ayah ga akan ngatur lagi..” perlahan ayah lepaskan pelukannya dan ku dapati senyuman yang begitu ku rindukan selama ini.
“ayah ga nyangka, sebegitu mulianya impian anak ayah ini, ayah ga nyangka ketertarikan teteh pada bahasa di dasari dengan keinginan siarkan islam ke penjuru dunia, dan tulisan teteh adalah awal dari impian itu… ayah bangga jadi ayah teteh” aku tersenyum seraya sesekali menyeka airmata.
ku lihat bunda dan yumna tersenyum ke arah ku. Dan saat itu lah ku yakini seribu kali-lipat impian ku yang sempat ku tinggalkan kemarin. Aku percaya dan akan selalu percaya dengan apa yang ku pilih sekarang. Aku berjaji takkan ada seorang pun yang dapat patahkan impian ku.

DREAM, DARE, DO!!
By: Santriwati Pesantren Persis Benda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar