Jumat, 17 Mei 2013

Manajemen Syukur | Tafsir Ayat tentang Bersyukur

Ada dua istilah di dalam ajaran Islam yang menggambarkan dua keadaan berbeda. Yang pertama disebut nikmat, yang kedua disebut musibah. Kedua istilah ini merupakan perwujudan dari sifat Maha Rahman dan Maha Rahimnya Allah, Maha Pengasih dan Maha Penyayangnya Allah. Namun dalam pandangan manusia, istilah pertama menggambarkan kebahagiaan, kemudahan, suka cita, dan sukses. Sedangkan istilah kedua menggambarkan kesedihan, kesusahan, duka cita, dan kegagalan. Karena itu, menurut tabi’atnya manusia selalu menginginkan kenikmatan dan tidak menghendaki kesusahan. Sifat dan tabi’at ini telah digambarkan oleh Allah di dalam surat al-Ma’arij:19-21


{ إِنَّ الإِنْسَانَ خُلِقَ هَلُوعًا }. { إِذَا مَسَّهُ الشَّرُ جَزُوْعًا }. { وَإِذَا مَسَّهُ الْخَيْرُ مَنُوعًا }

Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir (19); Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah (20); dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir (21).


Ayat ini dengan jelas menggambarkan sifat dan tabi’at manusia, yaitu apabila ditimpa kesusahan dan kekurangan, mereka takut, gelisah dan tidak menerima. Tetapi ketika diberi kenikmatan, baik berupa harta maupun kesuksesan karir, mereka sama-sekali tidak ingat siapa sebenarnya yang memberikan semua itu.


Karena itu bagaimana seharusnya sikap kita sebagai orang yang beriman kepada Allah ketika menghadapi dua keadaan tersebut?


Bagi orang beriman, kedua keadaan ini merupakan uji kualifikasi keimanan kita. Apakah ketika diberikan kenikmatan akan syukur ataukah kufur? Sedangkan ketika terkena musibat, apakah akan sabar atau putus asa? Di dalam surat al-Anbiya:35 dijelaskan bahwa ujian Allah yang diberikan kepada manusia itu tidak hanya berupa kegagalan tetapi juga berupa kesuksesan


كلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ (35


Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan. Al-Anbiya:35


Namun sebenarnya ujian dalam bentuk kenikmatan, kebahagiaan, dan kesuksesaan jauh lebih berat dibandingkan ujian dalam bentuk kesusahan dan kegagalan. Karena itu tidak sedikit manusia yang mampu istiqamah ketika diuji oleh kesusahan, namun lupa diri ketika diuji oleh kesenangan, bahkan dia tidak menyadari bahwa kesenangan itu juga merupakan ujian dari Allah. Sehubungan dengan itu Umar bin Khatab pernah menytakan


“Apabila kita diuji dengan kesusahan, kami mampu sabar. Tapi ketika diuji dengan kesenangan kita tidak sadar”


Yang paling berat adalah menghilangkan rasa ujub, sombong dalam diri kita, karena seolah-olah kebahagian dan kesuksesan itu diciptakan oleh dia sendiri, semata-mata hasil prestasi manusia. Agar kita tidak termasuk orang-orang yang ujub, sombong di hadapan Allah, maka ada beberapa hal yang diajarkan oleh Islam kepada kita ketika mendapatkan kenikmatan


Pertama, ketika mendapatkan kenikmatan, kebahagian, dan kesukseaan kita diwajibkan untuk bersyukur. Apa sih yang namanya syukur itu? Syukur adalah “Tashawwurun ni’mati wa izhharuha” artinya “Gambaran dalam benak tentang nikmat dan menampakkannya ke permukaan” Menampakkan nikmat antara lain mempergunakan kenikmatan itu pada tempat dan sesuai dengan yang dikehendaki oleh Allah sebagai pemberi nikmat itu.


Dengan demikian syukur menurut Islam mencakup tiga aspek


1. Bersyukur dengan hati

Yaitu mengakui dan menyadari sepenuhnya bahwa segala nikmat yang diperoleh bersumber dari Allah. Dan tidak ada seorang pun yang dapat memberikan kenikmatan itu selain Allah. Sebagai contoh: Ketika lahir ke dunia manusia tidak tahu apa-apa. Lalu oleh Allah diberi pendengaran, penglihatan dan hati. Coba perhatikan Udara segar yang kita hirup setiap waktu, cahaya matahari yang menjadi sumber energi, terangnya bulan pada malam hari, gunung-gunung yang menjulang tinggi dengan kekayaan alamnya, air yang selalu mengalir untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia; itu semua adalah sebagian kecil dari nikmat-Nya. Demikian pula denyut jantung yang mengalirkan darah keseluruh tubuh, paru-paru yang selalu mengisap udara segar dan mengeluarkan udara kotor, ginjal yang senantiasa bekerja tanpa mengenal lelah; itu semua adalah anugerah ilahi, yang kesemuanya bekerja di luar pengawasaan kita, termasuk proses pencernaan makanan yang masuk perut kita.


2. Bersyukur dengan lidah

Yaitu mengucapkan al-hamdu lillahi rabbil ‘alamin, artinya segala puji bagi Allah tuhan pengurus alam semesta ini. Ucapan ini menunjukkan bahwa kekuasaan kita terhadap alam semesta itu tidak absolut. Kepintaran kita belum ada apa-apa dibanding ilmu Allah. Kekuatan kita belum sebarapa dibandingan dengan kekuasaan Allah. Contoh berkedip, siapa yang sanggup menahan kedipan agar tidak berkedip. Siapa yang mampu melawan rasa ngantuk ketika sudah waktunya untuk tidur.


3. Bersyukur dengan amal perbuatan,
Di antara bentuknya


  • mempergunakan anggota tubuh dalam melakukan hal-hal yang positif yang diridhai Allah. Ketika anggota tubuh dipakai maksiat, maka dia sebenarnya tidak mau. Karena dia diciptakan oleh Allah guna kebaikan diri dan manusia pada umumnya, bukan untuk kemaksiatan.
  • Menggunakan harta sesuai ajaran Islam dan menafkahkannya di jalan Allah
  • Jika nikmat itu berupa ilmu, ia akan memanfaatkan ilmu itu untuk keselamatan, kebahagiaan, dan kesejahteraan manusia, bukan membinasakan dan menghancurkan kehidupan manusia.


Ringkasnya, syukur dengan amal perbuatan itu berarti melaksanakan segala perintah dan menjauhi larangan Allah, di antaranya yang sering terlupakan oleh kita adalah sujud syukur, tidak perlu wudhu, tidak perlu menghadap kiblat, tanpa pelu membaca apapun.


Terkait dengan keberhasilan dalam pendidikan, semakin tinggi jenjang pendidikan seseorang, maka bukti syukur kepada Allah itu dia harus semakin taqwa, semakin banyak ilmunya, dia harus semakin taat dalam beribadah. Semakin banyak gelarnya, dia harus semakin baik akhlaknya, baik terhadap orang tua, keluarga, maupun orang lain.


Kedua, ketika mendapatkan musibat kita bersabar. Apa yang dimaksud dengan musibat dan sabar itu?

Musibat adalah kejadian apa saja yang menimpa manusia yang tidak dikehendakinya, seperti sakit, rugi dalam berusaha, kehilangan barang, meninggal, bencana alam, seperti Gempa bumi, wabah penyakit, kalah perang, paceklik, dan kiamat.


Musibah merupakan kejadian yang datang atas ketentuan Allah dan tidak bisa ditolak. Rasul bersabda

“Ya Aisyah (ingatlah) sesungguhnya Allah Azza wa jalla, apabila Ia berjehendak menjadikan sesatu yang kecil menjadi besar, maka akan terjadi. Dan sebaliknya apabila ia berkehendak menjadikan sesuatu yang besar menjadi kecil maka itu pun akan terjadi”. Ad-Durrul Mantsur, I:381


Manusia diwajibkan untuk mnghindar dri musibah yang sudah menimpa dirinya. Kalau sakit dia harus berobat. Kalau tertimpa banjir, dia harus menghindar dari bahaya banjir. Upaya untuk menghindar dari musibat itu bukan pada tingkat pencegahan, seperti mencegah datangnya penyakit, tetapi pada tingkat penanggulangannya.


Musibat tidak membedakan sasaran yang dikenainya. Ia dapat menimpa manusia shaleh (seperti kepada para nabi) atau manusia yang biasa berbuat maksiat. Bedanya, kalau musibat itu menimpa orang saleh, maka itu dipandang sebagai penguji keimanan, sebagaimana diterangkan oleh Allah dalam surat al-Baqarah:155-156


وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنْ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنْ الْأَمْوَالِ وَالْأَنفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرْ الصَّابِرِينَ(155)الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ(156)أُوْلَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُوْلَئِكَ هُمْ الْمُهْتَدُونَ(157)


Dan sesungguhnya Kami akan menguji kalian dengan sebagian dari ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berilah kabar gembira bagi mereka yang sabar. Yaitu yang apabila kena kepada mereka satu musibah, mereka berkata, “Sesungguhnya kami ini milik Allah dan sesungguhnya kepada-Nya lah kami akan kembali’. Kepada mereka akan turun karunia-karunia dan rahmat dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang mendapat petunjuk”. Q.S. Al Baqarah : 155-157


Pada ayat ini (Q.S. Al Baqarah : 155) terkandung satu isyarat bahwa seorang yang telah mengaku beriman tidak lantas terjamin akan selalu diluaskan rezekinya, dimudahkan kehidupannya, dan dihilangkan segala rasa ketakutannya

Tetapi jika menimpa orang yang biasa berbuat maksiat, maka musibah harus diartikan sebagai siksan. Allah berfirman dalam surat Muhamad:10


أَفَلَمْ يَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَيَنظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ دَمَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ وَلِلْكَافِرِينَ أَمْثَالُهَا(10


Maka apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi sehingga mereka dapat memperhatikan bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka; Allah telah menimpakan kebinasaan atas mereka dan orang-orang kafir akan menerima (akibat-akibat) seperti itu.


Walaupun musibah itu secara lahiriah tidak menyenangkan, namun bagi orang shaleh hakikatnya dijadikan sebagai sarana untuk meningkatkan derajat keimanan di sisi Allah swt. Sedangkan bagi orang kafir musibah memang dimaksudkan untuk membalas kekafiran mereka


Manajemen Musibat

Islam telah memberikan tuntunan menganai cara menghadapi musibah


1. Sabar dalam menghadapi musibat itu

Imam Al Qurthubi (II : 174) membagi sabar kepada dua bagian:

sabar dalam menjauhi maksiat kepada Allah, orang yang demikian dinamakan Mujahid. Dan sabar dalam menjalankan ketaatan kepada Allah, orang yang demikian dinamakan ‘Abid. Jika kedua sifat ini sudah bersatu pada diri seorang hamba, maka Allah swt. akan menanamkan rasa ridha di dalam hatinya terhadap segala ketetapan Allah bagi dirinya. Dan tanda keridhaan itu adalah tentramnya hati ketika menghadapi semua kejadian yang menimpa diri, baik yang disukai atau pun dibenci.


2. Ciri kesabaran itu terlihat dari ucapan yang keluar saat menghadapi musibah

Dalam H.r. Muslim, Ibnu Majah, dan Ahmad diterangkan bahwa Rasul mengajarkan: jika kalian terkena musibat ucapkan inna lillahi wa inna ilaihi Raji’un. (Sesungguhnya kami milik Allah dan kepadanya kami akan kembali). Di kita terkadang ada kesalahan persepsi, seolah-olah perkataan ini adalah ucapan bagi kematian. Sehingga kalau tersandung batu, jarang ada yang mengucapkan kalimat, bahkan yang keluar justru sumpah serapah, maaf keluar pula ucapan kebun binatang: anjing dan sebagainya. Padahal Rasul sendiri pernah mengucapkannya hanya sekedar lampu padam, yang terkedang oleh kita dianggap sepele.


Ucapan “Inna lillahi” merupakan refleksi kesadaran dan pengakuan tulus atas penghambaan diri kepada Allah swt. dan pengakuan atas sifat kepemilikan-Nya. Sedangkan ucapan wa inna ilaihi raji’un adalah satu pengakuan terhadap kefanaan diri dan kebangkitan setelah kematian, serta merupakan satu keyakinan bahwa segala sesuatu tanpa terkecuali tempat kembalinya itu hanya kepada Allah swt. Al Maraghi. II:25


3. Setelah ucapan itu, dilanjutkan dengan doa

Allahumma ajurni fi mushibati, wakhlufli khairan minha (Ya Allah, berilah aku pahala dalam musibah ini dan gantikanlah bagi ku dengan sesuatu yang lebih baik daripadanya)


Jadi orang yang sabar itu ialah orang yang ketika menghadapi satu musibah, dengan penuh kesadaran dan keikhlasan mengucapkan kalimat istirja, yakni mengakui bahwa jangankan harta yang hilang, jabatan yang tertinggal, keluarga yang meninggal serta cita-cita yang tidak terwujud, diri kami pun milik Allah. Bila Allah menghendaki untuk mengambilnya maka kami akan rela dan tidak akan mempertahankannya. Dan orang yang sabar itu menyakini bahwa tidak ada suatu yang kekal di dunia ini, termasuk dirinya sendiri. Semuanya akan kembali kepada Allah swt. jika orang lain sekarang mungkin ia besok atau lusa.


Dari ajaran Islam ini kita mendapatkan ilmu yang besar bahwa ketika seseorang mendapat musibah kemudian bersabar, maka dia mendapatkan berbagai keuntungan, yaitu


  • Pahala atas kesabarannya itu
  • Terjadi peningkatan kualitas keimanan yang luar biasa
  • Menyediakan ladang pahala dan medan jihad bagi orang lain yang hendak memberikan bantuan, baik moril maupun materil.


Inilah sifat orang beriman yang dikagumi oleh para malaikat ketika dinyatakannya di hadapan Allah.


3. sesuatu yang menimpa seseorang, sekecil apa pun bentuk dan sifatnya. Tafsir Al Qurthubi, II :175.

Pada ayat selanjutnya (Q.S. Al Baqarah : 156) Allah swt. menerangkan sifat orang yang sabar, yaitu mereka yang apabila ditimpa satu musibah, berkata, “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un (Sesungguhnya kami ini milik Allah dan sesungguhnya kepada-Nya lah kami akan kembali)”

Karena itu, hendaklah kita senantiasa berintrospeksi melalui peningkatan keilmuan kita tentang ajaran Islam.


akan tetap berpegang teguh kepada kebenaran atau justru kebatilan. Tetapkah melakukan kebaikan atau justru kejahatan. Ketika Allah menguji manusia, apakah Allah tahu akan bagaimana keadaan orang tersebut setelah diuji?

Dua keadaan itu akan senantiasa di hadapi oleh manusia ketika hidup di dunia ini. Setiap manusia yang hidup didunia ini akan senantiasa menghadapi dua keadaan yang diistilahkan oleh Islam dengan nikmat dan musibat.


وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنْ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنْ الْأَمْوَالِ وَالْأَنفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرْ الصَّابِرِينَ(155)الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ(156)أُوْلَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُوْلَئِكَ هُمْ الْمُهْتَدُونَ(157)


Dan sesungguhnya Kami akan menguji kalian dengan sebagian dari ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berilah kabar gembira bagi mereka yang sabar. Yaitu yang apabila kena kepada mereka satu musibah, mereka berkata, “Sesungguhnya kami ini milik Allah dan sesungguhnya kepada-Nya lah kami akan kembali’. Kepada mereka akan turun karunia-karunia dan rahmat dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang mendapat petunjuk”. Q.S. Al Baqarah : 155-157

Tafsir Mufradat

(الصبر) adalah menahan diri dalam kesempitan berdasarkan pertimbangan akal, syariat atau keduanya. Sabar memiliki makna yang luas dan nama yang berbeda bergantung kepada kejadiannya. Jika menahan diri karena satu musibah dinamakan (الصبر) sebaliknya (الجزع) (putus asa). Jika dalam peperangan dinamakan (الشجاعة) (pemberani) sebaliknya (الجبن) (penakut). Jika ditimpa kegelisahan dinamakan (رحب الصدر) (lapang dada) sebaliknya (الضجر) (gelisah). Dan jika dalam menjaga ucapan dinamakan (arab) (merahasiakan) sebaliknya (arab) (membuka rahasia). Allah swt. menamakan semua itu sebagai suatu kesabaran. Ar Raghib : 281


(المصيبة) adalah sesuatu yang menimpa seorang sekecil apa pun bentuk dan sifatnya Al Qurthubi, II :175.
Tafsir Ayat


Setiap peristiwa yang menimpa baik senang atau pun susah, bergantung kepada siapa yang menerimanya. Jika yang tertimpa itu kaum mukminin maka dinamakan ujian. Diuji dengan keadaan sehat, senang, dan untung, apakah syukur atau kufur? Serta diuji dengan keadaan susah, sakit, dan rugi, apakah sabar atau putus asa? Ujian yang paling berat adalah kesenangan, dengan ujian ini banyak yang gagal. Sedangkan ujian dengan penderitaan banyak yang sabar serta sadar, bahkan sering melahirkan banyak cita-cita.


Adapun jika yang tertimpa itu kafir atau pendurhaka, hal itu bukan ujian melainkan azab atau laknat. Diberi keadaan sehat, senang, dan untung, laknat atau istidraj-lah namanya. Diberi keadaan susah, sakit, dan rugi, azab disebutnya.


Ayat di atas dan beberapa ayat semisal pada tempat lainnya, merupakan gambaran sebagian ujian dari Allah swt. terhadap hamba-hamba-Nya yang mukmin. Apakah mereka sabar dalam menghadapinya, maka layak mendapat pahala dari Allah swt. atas kesabarannya, atau mereka malah putus asa ketika menjalaninya, maka pantaslah ia mendapat murka-Nya.


Pada ayat di atas juga (Q.S. Al Baqarah : 155) terkandung satu isyarat bahwa seorang yang telah mengaku beriman tidak lantas terjamin akan selalu diluaskan rezekinya, dimudahkan kehidupannya, dan dihilangkan segala rasa ketakutannya. Agama Islam adalah agama fitrah. Segala sesuatu akan berjalan sesuai dengan sunnatullah yang telah digariskan; ujian berupa kesenangan dan kesusahan akan terjadi berdasar hukum sebab akibat (kausalitas), maka mukmin sejati akan sabar ketika menghadapi kesusahan dan selalu bersukur ketika menjalani kesenangan. Al Maraghi, II : 24


Allah swt. dalam menguji hamba-hamba-Nya baik dengan kesenangan atau pun dengan kesusahan seperti dengan rasa takut, kelaparan, kehilangan harta, jiwa, dan hasil panen. Ia berkehendak meningkatkan derajat mereka. Sebab bagaimana mungkin derajat seorang seorang hamba bertambah mulia tanpa menempuh satu ujian terlebih dahulu. Hamba yang lulus ketika diuji dengan satu ujian derajatnya akan dimuliakan, sedangkan hamba yang tidak lulus derajatnya akan dihinakan.


Imam Al Qurthubi (II : 174) membagi sabar kepada dua bagian:

sabar dalam menjauhi maksiat kepada Allah, orang yang begini dinamakan Mujahid. Dan sabar dalam menjalankan ketaatan kepada Allah, orang yang demikian dinamakan ‘Abid. Jika kedua sifat ini sudah bersatu pada diri seorang hamba, maka Allah swt. akan mewarisi rasa ridha di dalam hatinya terhadap semua yang Allah tetapkan baginya. Dan tanda keridhaan itu adalah sakinahnya hati terhadap semua apa yang menimpa diri baik sesuatu yang disukai atau pun dibenci.


Pada ayat selanjutnya (Q.S. Al Baqarah : 156) Allah swt. menerangkan sifat orang yang sabar, yaitu mereka yang apabila ditimpa satu musibah, berkata, “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un (Sesungguhnya kami ini milik Allah dan sesungguhnya kepada-Nya lah kami akan kembali))”


Ucapan “Inna lillahi” merupakan satu pengakuan terhadap penghambaan diri kepada Allah swt. dan pengakuan terhadap sifat kepemilikan-Nya. Dan ucapan wa inna ilaihi raji’un adalah satu pengakuan terhadap kefanaan diri dan kebangkitan setelah mati, serta merupakan satu keyakinan bahwa segala sesuatu tanpa terkecuali tempat kembalinya itu hanya kepada Allah swt. Al Maraghi. II:25


Jadi orang yang sabat itu ialah orang yang ketika menghadapi satu musibah, dengan penuh kesadaran dan keikhlasan mengucapkan kalimat istirja, yakni mengakui bahwa jangankan harta yang hilang, jabatan yang tertinggal, keluarga yang meninggal serta cita-cita yang tidak terlaksanakan, diri kami pun milik Allah. Bila Allah menghendaki untuk mengambilnya maka kami akan rela dan tidak akan mempertahankannya. Dan orang yang sabar itu menyakini bahwa tidak ada suatu yang kekal di dunia ini, termasuk dirinya sendiri. Semuanya akan kembali kepada Allah swt. jika orang lain sekarang mungkin ia besok atau lusa.


Dalam hadis riwayat Ad-Dailami, siti Aisyah menceritakan bahwa Rasulullah saw. pernah datang dan ibu jarinya tertusuk duri, maka ia beristirja dan mengusap-usapnya. Ketika aku mendengar istirja rasul aku mendekati dan melihatnya. Ternyata hanya luka kecil dan aku pun mentertawakannya. Kataku, “Ya Rasulullah, demi Allah, apakah harus beristirja hanya karena tertusuk duri sekecil ini?” Beliau tersenyum dan menepuk-nepuk pundakku. Sabdanya

“Ya Aisyah (ingatlah) sesungguhnya Allah Azza wa jalla, apabila Ia berjehendak menjadikan sesatu yang kecil menjadi besar, maka akan terjadi. Dan sebaliknya apabila ia berkehendak menjadikan sesuatu yang besar menjadi kecil maka itu pun akan terjadi”. Ad-Durrul Mantsur, I:381


Dari riwayat di atas, terlihat bagaimana Rasulullah saw. memaknai satu musibah yang tidak mengenakkan, menyakitkan serta menimpa seorang hamba sekecil apa pun termasuk hanya tertusuk duri adalah musibah, dan harus dihadapi dengan kesabaran, kesadaran, dan keikhlasan dan terlahir kalimah istirja.


Pada riwayat tersebut juga Rasulullah saw. mengajarkan jangan sekali-kali perkara yang kecil itu dianggap sepele dan tidak ada artinya. Sebab terkadang sesuatu yang besar dan tidak terperhitungkan itu justru berasal dari masalah-masalah kecil yang tidak terperhitungkan.


Selebih dari itu, ketika memahami makna musibah pasa ayat di atas, Hasan Al-Bisri pernah berkata,


Apabila engkau ketinggalan salat berjamaah hendaklah beristirja, karena itu merupakan satu musibah. H.R. Abdu bin Humaid.


Dari perkataan ini, kelihatannya Hasan al-Bisri ingin menanamkan satu pengertian bahwa yang namanya musibah itu bukan hanya dikenai sesuatu yang tidak mengenakkan dan dibenci saja, tapi ketinggalan dalam beramal saleh pun hendaknya dirasakan sebagai satu musibah. Dan hendaknya kaum mukminin merasa terkondisikan pada pemahaman seperti itu.


Setelah menerangkan sifat orang yang sabar, pada ayat selanjutnya (Q.S. Al-Baqarah:157) Allah swt. menjanjikan bagi hamba-hamba-Nya yang sabar ketika menghadap musibah. Bagi mereka akan mendapat salawat dari Tuhan mereka, yakni pahala atas kesabarannya, demikian pula limpahan rahmat, penggantian yang lebih, dan mereka diberi petunjuk kepada kebahagian akhirat yang abadi.


Umar bin Khatab pernah berkata, “Ayat ini adalah sebagus-bagus bekal dan sebagus-bagus tambahan. Ayat Kepada mereka itulah akan turun shalawat dan rahmat dari Tuhan mereka ini adalah perbekalan, dan ayat (Waulaika humul muhtadun) inilah tambahannya. H.R. Al-Hakim


Muhamad : 10

أَفَلَمْ يَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَيَنظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ دَمَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ وَلِلْكَافِرِينَ أَمْثَالُهَا(10)


Kenikmatan

وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا إِنَّ اللَّهَ لَغَفُورٌ رَحِيمٌ(18)


Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang


An-Nahl:18

وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمْ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ(78)


Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur


An-Nahl:78


وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ (7)

Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih


Fitnah/ujian


وَاعْلَمُوا أَنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ وَأَنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ(28)

Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar


al-Anfal:28

إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ وَاللَّهُ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ(15)


Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar


at-Taghabun:15

فَإِذَا مَسَّ الْإِنْسَانَ ضُرٌّ دَعَانَا ثُمَّ إِذَا خَوَّلْنَاهُ نِعْمَةً مِنَّا قَالَ إِنَّمَا أُوتِيتُهُ عَلَى عِلْمٍ بَلْ هِيَ فِتْنَةٌ وَلَكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُونَ (49)


Maka apabila manusia ditimpa bahaya ia menyeru Kami, kemudian apabila Kami berikan kepadanya nikmat dari Kami ia berkata: "Sesungguhnya aku diberi nikmat itu hanyalah karena kepintaranku." Sebenarnya itu adalah ujian, tetapi kebanyakan mereka itu tidak mengetahui


az-Zumar:49



ayat-ayat ini menggambarkan bahwa orang yang beribadah kepada Allah setengah-setengah, apabila menerima kebaikan menjadi tenang hatinya, tetapi apabila menerima cobaan menjadi berbalik.


Sejak manusia diciptakan tidak terbilang kenikmatan yang telah diberikan Allah kepadanya. Demikian banyaknya kenikmatan itu sehingga tidak seorang pun yang dapat menghitung berapa banyak kenikmatan yang telah dianugerahkan Allah kepada dirinya. Orang yang miskin pun tentu menyadari limpahan nikmat itu karena hidupnya sendiri hanyalah pemberian Allah.


Udara segar yang kita hirup setiap waktu, cahaya matahari yang menjadi sumber energi, terangnya bulan pada malam hari, gunung-gunung yang menjulang tinggi dengan kekayaan alamnya, air yang selalu mengalir untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia; itu semua adalah sebagian kecil dari nikmat-Nya. Demikian pula denyut jantung yang mengalirkan darah keseluruh tubuh, paru-paru yang selalu mengisap udara segar dan mengeluarkan udara kotor, ginjal yang senantiasa bekerja tanpa mengenal lelah; itu semua adalah anugerah ilahi, yang kesemuanya bekerja di luar pengawasaan kita.

Di samping nikmat hissi (kongkret) yang tak kunjung habis seperti di atas, Allah juga memberikan nikmat maknawi (abstrak), berupa pedoman hidup, ajaran yang memberikan kenikmatan, ketentraman batin dan kepuasan jiwa, yaitu Alquran. Alquran adalah nikmat terbesar di antara sejumlah nikmat yang diberikan Allah kepada manusia.


Qarun yang hartanya melimpah ruah, Fir’aun yang mempunyai kedudukan tinggi dan kekuasaan yang besar sebagai raja, di dalam Alquran dinyatakan sebagai orang yang tidak mendapat kenikmatan, karena mereka tidak memiliki pedoman hidup yang dapat menentramkan.

Orang yang bertambah harta kekayaannya tentu bertambah pula rasa was-wasnya. Bertambah tinggi kedudukan seseorang, maka bertambah pula kecemasan dan kekhawatirannya. Lain halnya dengan agama. Semakin bertambah kuat seseorang dalam beragama, maka semakin bertambah kuat jiwanya. Akan lebih tabah dalam menghadapi pelbagai problematika kehidupannya.

Sebagai bukti bahwa Alquran merupakan nikmat yang terbesar, kita dapat memperhatikan bagaimana bangsa Arab setelah memeluk Islam. Dalam waktu yang relatif singkat bangsa Arab menjadi bangsa yang maju, yang dapat mengungguli bangsa-bangsa lain yang ada di sekitarnya, yang dikenal sebagai bangsa adidaya pada masa itu.


Setelah bangsa Arab memeluk agama Islam, berubahlah wajah kota Mekah dan Madinah. Semula sering terjadi pertentangan antar suku, terutama Aus dan Khajraj di Madinah. Kini mereka menjadi rukun dan damai. Mereka saling mencintai, bahu-membahu, tolong-menolong, penuh dengan rasa persaudaraan dan kesetiakawanan.

Bangsa Arab yang sebelumnya pemabuk berat, di mana pemabukan bukan saja dilakukan oleh orang kaya dan kalangan elit melainkan juga oleh orang miskin dan kalangan alit (bawah). Ternyata dengan cahaya Alquran mereka mampu meninggalkan kebiasaan buruknya secara menyeluruh. Sementara bangsa lain belum mampu memberantasnya, padahal mereka menyadari bahwa hal itu merusakkan kesehatan.

Kerajaan Roma dan Persia yang merupakan negara super power pada waktu itu, ternyata dalam waktu yang relatif singkat, keduanya tumbang dengan kekuatan Alquran. Sedangkan bangsa Arab yang semula jauh terbelakang, moralnya bejat, pendidikannya rendah, pemabuk, penuh dengan sengketa dan huru-hara ternyata menjadi bangsa yang maju, bernegara yang aman, berakhlakul karimah, berbudi luhur, penuh dengan kesetiakawanan dan rasa solidaritas yang kuat. Itu semua berkat ajaran dan didikan Alquran. Alquran membangkitkan kesadaran setiap insan. Mengikat dan mempersatukannya dalam satu kesatuan masyarakat. Membangun bangsa menjadi cerdas dan terdidik, sehingga melahirkan suatu peradaban umat manusia yang dilandasi moral yang tinggi seperti yang kemudian dikenal sebagai zaman keemasan Islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar